Sabtu, 12 November 2011

Resume Agama

MASYARAKAT MADANI
DAN
KESEJAHTERAAN UMAT


Konsep “masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society” (Masyarakat sipil). Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. 
  
A. Pengertian Masyarakat Madani
 
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’ ayat 15:
بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَّ رَ بٌّ غَفُوْ رٌ
Artinya : (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.   

B. Masyarakat Madani Dalam Sejarah
Ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu:
1)   Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman.
2) Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. 

C. Karakteristik Masyarakat Madani
Ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1.     Bertuhan, artinya adalah bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama;
2.   Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat menghormati pihak lain secara adil;
3.    Tolong-menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat mengurangi kebebasannya;
4.      Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain;
5.      Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial;
6.      Berperadaban tinggi;
7.      Berakhlak mulia. 

D.  Kualitas SDM Umat Islam
Dalam Q.S. Ali Imran ayat 110
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَامُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ  وَلَوْاٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرً الَّهُمْ  مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الفٰسِقُوْنَ
Artinya:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah ciptakan. Di antara aspek kebaikan umat Islam itu adalah keunggulan kualitas SDMnyadibanding umat non Islam. Keunggulan kualitas umat Islam yang dimaksud dalam Al-Qur’an itu sifatnya normatif, potensial, bukan riil. 

E. Posisi Umat Islam 
SDM umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan kualitas yang unggul. Karena itu dalam percaturan global, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, belum mampu menunjukkan perannya yang signifikan. Di Indonesia, jumlah umat Islam lebih dari 85%, tetapi karena kualitas SDM nya masih rendah, juga belum mampu memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri ini bukan hukum Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak Islam. 

F. Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat
Menurut ajaran Islam, semua kegiatan manusia termasuk kegiatan sosial dan ekonomi haruslah berlandaskan tauhid (keesaan Allah). Hak milik mutlak hanya ada pada Allah saja. Hal ini berarti hak milik yang ada pada manusia hanyalah hak milik nisbi atau relatif. Islam mengakui setiap individu sebagai pemilik apa yang diperolehnya, dalam batas-batas yang telah ditentukan secara khusus dalam hukum Islam.
Di dalam ajaran Islam terdapat dua prinsip utama, yakni pertama, tidak seorangpun atau sekelompok orangpun yang berhak mengeksploitasi orang lain; dan kedua, tidak ada sekelompok orangpun boleh memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan mereka saja. Allah berfirman dalam Q.S. Asy-Syu’ara ayat 183:
وَلا تَبْخَسُواالنَّاسَ اَشْيَاءَ هُمْ وَلا تَعْثَوْافِى الارْضِ مُفْسِدِيْنَ
Artinya: Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan

Islam mentoleransi ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat tertentu, karena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya dalam masyarakat. Dalam ukuran tauhid, seseorang boleh menikmati penghasilannya sesuai dengan kebutuhannya. Kelebihan penghasilan atau kekayaannya harus dibelanjakan sebagai sedekah karena Alah.
Dalam ajaran Islam ada dua dimensi utama hubungan yang harus dipelihara, yaitu hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat. 

G.  Manajemen Zakat
1. Pengertian dan Dasar Hukum Zakat
Dari sudut bahasa, kata zakat berasal dari kata “zaka” yang berarti berkah, tumbuh, bersih, dan baik. . Menurut istilah fikih zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada yang berhak. Orang yang wajib zakat disebut “muzakki”, sedangkan orang yang berhak menerima zakat disebut ”mustahiq” .
Adapun harta-harta yang wajib dizakati itu adalah sebagai berikut:
1.        Harta yang berharga, seperti emas dan perak.
2.        Hasil tanaman dan tumbuh-tumbuhan, seperti padi, gandum, kurma, anggur
3.        Binatang ternak, seperti unta, sapi, kambing, dan domba.
4.        Harta perdagangan.
5.        Harta galian termasuk juga harta rikaz.

Adapun orang yang berhak menerima zakat adalah:
1.        Fakir, ialah orang yang tidak mempunyai dan tidak pula berusaha.
2.        Miskin, ialah orang yang tidak cukup penghidupannya dengan pendapatannya sehingga ia selalu dalam keadaan kekurangan.
3.    Amil, ialah orang yang pekerjaannya mengurus dan mengumpulkan zakat untuk dibagikan kepada orang yang berhak menerimanya.
4.     Muallaf, ialah orang yang baru masuk Islam yang masih lemah imannya, diberi zakat agar menambah kekuatan hatinya dan tetap mempelajari agama Islam.
5.    Riqab, ialah hamba sahaya atau budak belian yang diberi kebebasan berusaha untuk menebus dirinya agar menjadi orang merdeka.
6.  Gharim, ialah orang yang berhutang yang tidak ada kesanggupan membayarnya.
7.     Fi sabilillah, ialah orang yang berjuang di jalan Allah demi menegakkan Islam.
8.   Ibnussabil, ialah orang yang kehabisan biaya atau perbekalan dalam perjalanan yang bermaksud baik (bukan untuk maksiat).
2. Sejarah Pelaksanaan Zakat di Indonesia
Sejak Islam memsuki Indonesia, zakat, infak, dan sedekah merupakan sumber sumber dana untuk pengembangan ajaran Islam dan perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan Belanda. Pemerintah Belanda khawatir dana tersebut akan digunakan untuk melawan mereka jika masalah zakat tidak diatur. Pada tanggal 4 Agustus 1938 pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan pemerintah untuk mengawasi pelaksanaan zakat dan fitrah yang dilakukan oleh penghulu atau naib sepanjang tidak terjadi penyelewengan keuangan. Untuk melemahkan kekuatan rakyat yang bersumber dari zakat itu, pemerintah Belanda melarang semua pegawai dan priyai pribumi ikut serta membantu pelaksanaan zakat. Larangan itu memberikan dampak yang sangat negatif bagi pelakasanaan zakat di kalangan umat Islam, karena dengan sendirinya penerimaan zakat menurun sehingga dana rakyat untuk melawan tidak memadai. Hal inilah yang tampaknya diinginkan Pemerintah Kolonial Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, di Aceh satu-satunya badan resmi yang mengurus masalah zakat. Pada masa orde baru barulah perhatian pemerintah terfokus pada masalah zakat, yang berawal dari anjuran Presiden Soeharto untuk melaksanakan zakat secara efektif dan efisien serta mengembangkannya dengan cara-cara yang lebih luas dengan pengarahan yang lebih tepat. Anjuran presiden inilah yang mendorong dibentuknya badan amil di berbagai propinsi.
3. Manajemen Pengelolaan Zakat Produktif
Sehubungan pengelolaan zakat yang kurang optimal, beberapa perusahaan dan masyarakat membentuk Baitul Mal atau lembaga yang bertugas mengelola dan zakat, infak dan sedekah dari karyawan perusahaan yang bersangkutan dan masyarakat. Sementara pemerintah juga membentuk Badan Amil Zakat Nasional.
Dalam pengelolaan zakat diperlukan beberapa prinsip, antara lain:
1.      Pengelolaan harus berlandasakan Alquran dan Assunnah.
2.      Keterbukaan.
3.      Menggunakan manajemen dan administrasi modern.
4.    Badan amil zakat dan lembaga amil zakat harus mengelolah zakat dengan sebaik-baiknya.

Selain itu amil juga harus berpegang teguh pada tujuan pengelolaan zakat, antara lain:
1.      Mengangkat harkat dan martabat fakir miskin dan membantunya keluar dari kesulitan dan penderitaan.
2.      Membantu pemecahan masalah yang dihadapi oleh para mustahik
3.      Menjembatani antara yang kaya dan yang miskin dalam suatu masyarakat.
4.      Meningkatkan syiar Islam
5.      Mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negara.
6.      Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial dalam masyarakaT. 

H.  Manajemen Wakaf
1.      Pengertian Wakaf
Wakaf adalah salah satu bentuk dari lembaga ekonomi Islam. Ia merupakan lembaga Islam yang satu sisi berfungsi sebagai ibadah kepada Allah, sedangkan di sisi lain wakaf juga berfungsi sosial. Istilah wakaf beradal dari “waqb” artinya menahan. Menurut H. Moh. Anwar disebutkan bahwa wakaf ialah menahan sesuatu barang daripada dijual-belikan atau diberikan atau dipinjamkan oleh yang empunya, guna dijadikan manfaat untuk kepentingan sesuatu yang diperbolehkan oleh Syara’ serta tetap bentuknya dan boleh dipergunakan diambil manfaatnya oleh orang yang ditentukan (yang meneriman wakafan), perorangan atau umum.
2.     Manajemen Pengelolaan Wakaf di Indonesia
Mengingat pentingnya “ nadzir” dalam pengelolaan wakaf, maka di Indonesia “nadzir” di tetapkan sebagai unsur perwakafan. “ Nadzir” di artikan sebagai orang atau pihak yang berhak untuk bertindak atas harta wakaf, baik untuk mengurus, memelihara, dan mendistribusikan hasil wakaf kepada orang yang berhak menerimanya, ataupun mengerjakan segala sesuatu yang memungkinkan harta itu tumbuh dengan baik dan kekal.
Wakaf tunai diharapkan dapat menjadi sarana bagi rekonstruksi sosial dan pembangunan, dimana mayoritas penduduk dapat berpartisipasi. Menurut M.A.Mannan, wakaf tunai dapat berperan sebagai suplemen bagi pendanaan berbagai macam proyek investasi sosial yang di kelolah oleh bank-bank Islam, sehingga dapat berubah menjadi bank wakaf (sebuah bank yang menampung dana-dana wakaf).
Dalam PP.No. 28 Tahun 1977 Pasal 7 ayat (1) di sebutkan bahwa “ nadzir” kewajiban untuk mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf serta hasilnya menurut ketentuan-ketentuan yang diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama sesuai dengan tujuan wakaf.
Untuk mengelolah wakaf produktif di Indonesia, yang pertama-tama harus dilakukan dalam waktu dekat adalah perlunya pembentukan suatu badan atau lembaga yang khusus mengelolah wakaf yang ada dan bersifat nasional misalnya Badan Wakaf Indonesia. Setelah terbentuk nanti, yang pertama-tama harus dilakukan Badan Wakaf Nasional adalah menyusun perencanaan yang matang tentang hal-hal yang harus dilakukan dalam pengelolaan wakaf. Tugas utama Badan Wakaf Indonesia ini nantinya adalah memberdayakan wakaf, baik wakaf benda tidak bergerak maupun benda bergerak yang ada di Indonesia sehingga dapat memberdayakan ekonomi umat.
 Pada prinsipnya tugas Badan Wakaf Indonesia ini nantinya adalah menangani seluruh wakaf yang ada, namun karena selama ini wakaf yang ada di Indonesia berupa tanah milik dan masing-masing sudah ada “ nadzirnya” dan pembinaannya ada di bawah Departemen Agama, yakni di bawah Direktorat Zakat dan Wakaf, maka terhadap tanah wakaf yang sudah ada, Badan Perwakafan Nasional cukup hanya membantu memberdayakan wakaf tersebut dengan membuat kebijakan-kebijakan yang mengarah pada peningkatan kemampuan pada “ nadzir”  wakaf sehingga mereka dapat mengelolah wakaf yang menjadi tanggung jawabnya secara produktif. Untuk itu, Badan Wakaf Indonesia yang nantinya di bentuk hanyalah mengelola wakaf benda-benda bergerak dan wakaf tunai (uang) serta harta wakaf yang di amanahkan kepadanya. Wakaf benda-benda bergerak tersebut kemudian dikembangkan melalui lembaga-lembaga terkait, sedangkan wakaf uang/ wakaf tunai dikembangkan melalui bank-bank syari’ah.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar